Sejak dahulu, Indonesia banyak mengalami permasalahan-permasalahan yang tentunya bertambah banyak dari hari ke hari. Selain permasalahan di bidang politik-pemerintah, sosial kemasyarakatan, hukum dan perundangan, pendidikan dan layanan kesehatan, Indonesia pun mengalami problematika perekonomian.
Tahun 2015 dapat menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Bagaimana tidak? ASEAN, organisasi regional yang menyatukan negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini mengumumkan bahwa Asean Economic Community (AEC) akan diberlakukan pada tahun 2015.
Jadi sebenarnya apa itu AEC? Mengapa keberadaanya mampu mempengaruhi kondisi perekonomian Indonesia? Inti dari AEC adalah membuka luas pasar arus ekspor-import barang dan jasa ataupun investasi antarnegara ASEAN dimana permasalahan tarif dan non tarif sudah tidak diberlakukan kembali. Dengan diberikannya kemudahan untuk bertransaksi antar negara di Asia Tenggara, diyakini dapat menjadi peluang ataupun tantangan bagi perekenonomian masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2015 mendatang Indonensia dihadapkan dengan adanya ASEAN Economic Community (AEC), sehingga Masyarakat Indonesia harus siap menghadapinya karena sistem pasar bebas akan memasuki Negara Indonesia, dimana persaingan bisnis bukan hanya diantara Masyarakat Indonesia tetapi juga sesama Masyarakat di wilayah ASEAN.
Asean Economic Community (AEC) merupakan kesepakatan yang dibangun oleh sepuluh negara anggota ASEAN. Terutama di bidang ekonomi dalam upaya meningkatkan perekonomian di kawasan dengan meningkatkan daya saing di kancah internasional agar ekonomi bisa tumbuh merata, juga meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan yang paling utama adalah mengurangi kemiskinan.
AEC merupakan realisasi dari Visi ASEAN 2020 yaitu untuk melakukan integrasi terhadap ekonomi negara-negara ASEAN dengan membentuk pasar tunggal dan basis produksi bersama. Menurut Prof Hermanto Siregar terdapat beberapa konsep dalam AEC yaitu ASEAN Economic Community, ASEAN Political Security Community, dan ASEAN Socio-Culture Community.
Ketiga hal tersebut akan direalisasikan di antara negara-negara anggota ASEAN secara bertahap. Untuk langkah pertama yang akan direalisasikan adalah AEC pada 2015 mendatang, setidaknya terdapat 5 hal yang akan diimplementasikan yaitu arus bebas barang, arus bebas jasa, arus bebas investasi, arus bebas modal, dan arus bebas tenaga kerja terampil.
Pada 2015 di antara 10 Negara ASEAN yang terdiri dari Indonesia, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Philipina, Laos, dan Kamboja, dan Vietnam harus membebaskan 5 hal di atas untuk menerapkan aturan dari kesepakatan tersebut. Sebelumnya pada 2004, Indonesia bersama ASEAN telah menyepakati perjanjian dengan China yang dikenal sebagai ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian itu, negara-negara ASEAN dan China harus membebaskan barang-barang masuk.
Dalam pelaksanaan AEC, negara-negara ASEAN harus memegang teguh prinsip pasar terbuka dan ekonomi yang digerakkan oleh pasar. Dengan kata lain, konsekuensi diberlakukannya AEC adalah liberalisasi perdagangan barang, jasa, dan tenaga terampil secara bebas dan tanpa hambatan tarif dan nontarif.
Rencana pemberlakuan AEC tersebut dicantumkan dalam Piagam ASEAN yang disahkan pada 2007. Pada tahun tersebut pula disepakati bahwa pencapaian AEC akan dipercepat dari 2020 menjadi 2015. Pengesahan AEC sendiri dicantumkan pada pasal 1 ayat 5 Piagam ASEAN dan diperkuat dengan pembentukan Dewan Area Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Council) yang tercantum dalam lampiran I Piagam ASEAN. Itulah dasar hukum yang mengesahkan terbentuknya ASEAN Economic Community.
Kesiapan Indonesia dalam menghadapi AEC 2015, antara peluang dan ancaman. Siap atau tidak siap sudah tidak perlu diperdebatkan lagi karena AEC sudah menjadi keputusan dan ketetapan politik yang harus dihadapi semua negara ASEAN.
Jika dilihat dari beberapa data tentang kondisi Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, dalam banyak hal Indonesia kalah oleh Thailand dan Philipina, apalagi Brunei, Malaysia, dan Singapura masih tertinggal jauh. Indonesia hanya menang dari luas negara yang begitu besar, jumlah penduduk yang banyak, dan sumberdaya yang melimpah.
Setelah diberlakukannya AEC, Indonesia akan “diserbu” barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terampil dari negara ASEAN lainnya sehingga hal ini akan menjadi ancaman yang serius. Atau sebaliknya Indonesia dapat “menyerbu” negara ASEAN lainnya dengan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja terampil sehingga hal ini menjadi peluang yang besar bagi kita.
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk menghadapi AEC 2015 di antaranya adalah :
1. Mengubah ‘mindset’ konsumtif menjadi produktif sehingga kita bisa mengurangi pengeluaran dan memperbesar pemasukan bagi negara kita.
2. Meningkatkan ‘Competitiveness’ produk yang akan berpengaruh pada ketertarikan konsumen akan produk yang kita hasilkan dengan kualitas terjamin dan harga yang terjangkau.
3. Diversifikasi dan peningkatan nilai tambah bahan baku dari sumber daya alam yang melimpah menjadi produk berorientasi ekspor.
4. ‘Competitiveness’ sumber daya manusia karena kunci dari kemajuan bangsa adalah bukan karena kekayaan alamnya melainkan SDM yang ada di dalamnya.
5. Mempersiapkan lulusan perguruan tinggi yang mampu berkompetisi minimal di tingkat ASEAN (kedepan semua profesi harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN) dan tiap tenaga profesional memiliki semangat yang tinggi.
6. Mengubah ‘mindset’ pegawai menjadi entrepreneur (pengusaha) sehingga diharapkan akan muncul pengusaha-pengusaha baru yang dapat menciptakan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan masyarakat indonesia secara mandiri sehingga tidak bergantung terhadap negara lain.
PERLU diketahui bahwa pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 bukanlah sebuah proyek ”mercusuar” tanpa roadmap yang jelas. MEA 2015 adalah proyek yang telah lama disiapkan seluruh anggota ASEAN dengan visi yang kuat.
MEA 2015 hanyalah salah satu pilar dari 10 visi mewujudkan ASEAN Community. Kesepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut adalah outward looking, economic integration, harmonious environment, prosperity, caring societies, common regional identity, living in peace, stability, democratic, dan shared cultural heritage (Kementerian Luar Negeri, 2014). Dengan kata lain, keliru bila ada anggapan bahwa MEA 2015 adalah ambisi Indonesia dari pemerintah yang tidak jelas arahnya. Sejak dulu Indonesia memang sangat aktif memperjuangkan ASEAN sebagai masyarakat yang ”satu”. Ini antara lain dapat diidentifikasi dari pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang Umum MPR, 16 Agustus 1966 yang mengatakan, ”Indonesia perlu memperluas kerja sama Maphilindo untuk menciptakan Asia Tenggara menjadi kawasan yang memiliki kerja sama multisektor seperti ekonomi, teknologi, dan budaya. Dengan terintegrasinya kawasan Asia Tenggara, kawasan ini akan mampu menghadapi tantangan dan intervensi dari luar, baik secara ekonomi maupun militer,” CPF Luhulima, Jakarta Post, 7 Februari 2013. Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah inisiator dari terbentuk integrasi kawasan ASEAN. Hanya, perjalanan setiap negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini berbeda- beda. Ada negara yang dengan cepat bisa mempersiapkan diri, namun ada juga negara yang terlambat. Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan yang dihadapi setiap negara yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara dalam mempersiapkan diri menghadap MEA 2015. Singapura adalah negara ASEAN yang dapat dikatakan paling siap menghadapi MEA 2015. Meski tidak yang paling tertinggal, Indonesia masih perlu kerja ekstra untuk menghadapi MEA 2015 ini. Ini mengingat dalam beberapa hal strategis, Indonesia relatif tertinggal.

A. Daya Saing vs Infrastruktur
Bukan bermaksud untuk mencari alasan di balik ketertinggalan tersebut, ukuran ekonomi Indonesia yang besar bisa jadi memang salah satu penyebabnya. Indonesia negara terbesar di ASEAN, baik dari segi kewilayahan, jumlah penduduk, maupun ukuran ekonominya. Sayangnya, dalam kualitas, terutama daya saing, Indonesia tertinggal cukup jauh dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand. Beberapa studi mengonfirmasikan terkait ketertinggalan Indonesia ini. Studi Bank Dunia (2013) menyebutkan, daya saing produk ekspor Indonesia relatif tertinggal dibanding negara-negara ASEAN lain, terutama kaitannya dengan nilai tambah produk ekspor kita. Komposisi ekspor kita terbesar didominasi komoditas (resource based) dan barang primer (primary product). Kondisi ini menyebabkan ekspor Indonesia rentan dengan gejolak harga. Hal ini pula yang saat ini kita rasakan, ekspor kita melemah akibat pelemahan perekonomian dunia yang menyebabkan harga komoditas dunia juga ikut menurun. Berbeda dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, sebagian besar ekspornya didominasi oleh produk-produk yang telah disentuh teknologi (medium and high tech product). Kondisi infrastruktur kita juga relatif tertinggal. Infrastruktur logistik kita misalnya berdasarkan Logistics Performance Index (LPI) 2012 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-59 atau jauh di bawah Singapura yang berada di puncak di antara 155 negara yang disurvei. Posisi dan daya saing industri logistik Indonesia bahkan kalah dibanding Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina dan hanya unggul terhadap Myanmar dan Kamboja. Indonesia pasar ekonomi yang besar. Kelas menengah Indonesia semakin bertambah. PDB per kapita Indonesia sudah mendekati USD5.000, yang berarti daya beli masyarakat kita yang cukup tinggi. Tingginya daya beli ini akan menjadi bumerang bagi ”neraca ekonomi” kita bila daya saing dan kesiapan infrastruktur kita tidak segera dibenahi dalam menghadapi MEA 2015 ini. Ekspor kita menjadi kurang bersaing karena nilai tambahnya rendah. Di sisi lain, Indonesia akan menjadi pasar barang dan jasa impor yang empuk, sementara nilai tambah dari barang dan jasa impor tersebut bagi kita sangat kecil. Saat ini dampak dari rendahnya daya saing kita tersebut sudah terasa. Sejak 2012 neraca perdagangan kita telah defisit. Sementara neraca jasa kita sejak dulu tidak mengalami perbaikan, dalam arti selalu defisit. Tingginya pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia dalam satu dekade ini menyebabkan demand masyarakat kita meningkat. Sayangnya, karena lemah struktur industri kita, demand masyarakat tersebut tidak bisa dipenuhi industri domestik, melainkan harus diimpor. Ketika ekspor booming, kita juga tidak bisa memaksimalkan nilai tambahnya. Ekspor komoditas dan barang primer harus diangkut melalui pelabuhan dan menggunakan kapal. Sayangnya, karena ketidaksiapan infrastruktur pelabuhan dan kapal kita, terpaksa ekspor tersebut harus dilakukan di pelabuhan negara tetangga dan diangkut dengan kapal berbendera asing. Tidak hanya itu, asuransi angkutannya pun harus dengan perusahaan asuransi asing sehingga neraca jasa kita mengalami defisit. Indonesia negara dengan penduduk yang besar. Kebutuhan energinya juga besar seiring pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Pada 2012 kebutuhan minyak kita mencapai 73 juta ton, terbesar kelima di Asia. Sayangnya, karena kapasitas infrastruktur kilang minyak yang tidak cukup, setiap tahun impor BBM kita terus meningkat. Indonesia kini telah menjadi importir premium (gasoline) terbesar di dunia. Sekitar 30 persen kebutuhan BBM domestik harus dipenuhi dari impor. Negara yang memiliki infrastruktur kilang minyak diuntungkan dengan posisi Indonesia ini. Siapa itu? Salah satunya Singapura karena memiliki kilang minyak dengan kapasitas yang besar sehingga bisa mengekspor BBM-nya, termasuk ke Indonesia.
Sepertinya Indonesia harus memiliki kebijakan yang agak revolusioner untuk mengubah kondisi yang akut ini. Kebijakan fiskal kita harus berubah, dari yang terlalu costly ke operasional dan subsidi BBM untuk dialihkan ke anggaran investasi, infrastruktur, dan penguatan industri manufaktur. Tanpa langkah-langkah seperti ini, rasanya sulit kita bisa mengejar ketertinggalan daya saing kita. Di sisi lain, kebijakan sektoral juga harus memperlihatkan kesungguhannya untuk memperkuat daya saing industri nasional kita. MEA 2015 tinggal sebentar lagi. Sebenarnya sudah terlambat cukup jauh untuk mengatasi ketertinggalan dalam menghadapi MEA 2015. Namun, lebih baik terlambat dibanding kita melakukan perubahan. Mudah-mudahan, momentum Pemilu 2014 ini bisa menghasilkan pemerintahan baru yang serius dalam mengejar ketertinggalan
tersebut.

B. MENGUNTUNGKAN ATAU DI UNTUNGKAN INDONESIA
Perjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)/perdagangan bebas ASEAN-Cina terbukti merugikan Indonesia. Sepanjang 2014 saja, defisit perdagangan RI-Cina sudah mencapai US$ 1,5 miliar (16,9 triliun). Padahal, tujuan Indonesia menandatangani ACFTA adalah agar produk-produk kita bisa lebih mudah masuk ke Cina, negara berpenduduk terbanyak di dunia. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia malah menjadi pasar baru buat produk-produk Cina. Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dipercepat menjadi 2015. Namun, hanya negara-negara berdaya saing tinggi yang diuntungkan seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
Guru besar ekonomi Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika mengatakan, sebelum dicanangkan pada 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) menguntungkan Indonesia, Malaysia, Thailand dan Singapura. Sebab, selama 2007-2010, perdagangan Indonesia selalu surplus dan meningkat ke negara-negara ASEAN. Lihat saja, menurut Erani, pada 2010, RI surplus US$3,5 miliar. Padahal, pada 2005-2006, RI masih defisit. RI bisa surplus karena memiliki komoditas perkebunan yang besar, kelautan, elektronik, tekstil dan lain-lain. “Tapi, semua itu merupakan industri-industri yang sudah mulai terbenam
Perdagangan di sektor-sektor tersebut akan menurun secara bertahap. Jika tidak direvitalisasi, sektor-sektor tersebut akan bermasalah. “Karena itu, Indonesia bisa jadi negara yang dirugikan ke depannya setelah dicanangkan MEA pada 2015. Sebab, negara ASEAN yang lain seperti Vietnam, Filipina dan lain-lain akan menyalip Indonesia,” ujarnya. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan masalah yang mengganggu ekonomi domestik. Menurutnya, Indonesia harus memperkuat sektor pertanian dan industri. “Sebab, kedua sektor tersebut justru mengalami pelemahan dari tahun ke tahun,” ucapnya. Jika tidak mengalami perbaikan yang berarti, Indonesia akan sulit bersaing dengan negara-negara ASEAN lainnya. Hingga 2015, RI memang bisa survive dalam kancah ASEAN. Tapi setelah itu, RI akan mengalami banyak masalah jika tidak mengalami perbaikan-perbaikan. “Yaitu perbaikan iklim investasi, daya saing, pembangunan infrastruktur, konsistensi kebijakan pemerintah, pembebasan lahan dan lain-lain,” urainya. Dia menegaskan, negara-negara ASEAN yang paling baik daya saing ekonominya saat ini adalah Thailand, Singapura dan Malaysia. Karena itu, negara-negara top three tersebut, paling diuntungkan dengan adanya masyarakat ekonomi ASEAN.
Indonesia berada pada level menengah bersaing dengan Filipina dan Vietnam. “Negara-negara yang paling dirugikan adalah negara-negara yang daya saingnya rendah sperti Kamboja, Laos, Brunei Darussalam dan Myanmar,” imbuh Erani. Dihubungi terpisah, Chief Economist Danareksa Research Institute (DRI) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan hal yang sama. Menurutnya, yang paling diuntungkan dari MEA, adalah negera-negara yang paling siap bersaing, efisien dan paling mempersiapkan diri hingga 2015. Menurutnya, jika Indonesia tidak menyiapkan tenaga ahli yang baik, sementara negara lain mengirimkan tenaga ahli ke Indonesia, MEA sangat merugikan. Sebab, Indonesia bisa jadi hanya mengirimkan tenaga yang tidak ahli sehingga dibayar murah. Di sisi lain, negara-negara ASEAN lain bisa mendapatkan akses pasar yang jauh lebih besar sedangkan Indonesia tidak. Jika melihat persiapannya saat ini yang kurang, RI bisa dirugikan dengan terbentuknya masyarakat ekonomi ASEAN. Memang dari sisi murahnya buruh, RI memiliki comparable advantage. Tapi, itu merugikan. RI mengirim 1.000 orang, hanya dibayar dengan 10 orang tenaga ahli dari luar ke Indonesia.

Seperti pendapat Erani, Purbaya juga menegaskan, Malaysia, Thailand dan Singapura yang jelas paling diuntungkan. Singapura memiliki high-tech yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia baik eloktronik maupun produk lainnya. RI juga banyak mengipor Bahan Bakar Minyak (BBM) dari Singapura. “Manajemen dan services Singapura jauh lebih baik,” timpalnya. Begitu juga dengan Malaysia. Hanya sektor Crude Palm Oil (CPO) negeri Jiran itu yang bisa dilawan Indonesia. Tapi, dari sisi value added dan high-tech Indonesia kalah termasuk elekronik.
Daya saing industri Malaysia juga jauh lebih baik karena baiknya suplai energi di negara itu. Dia menegaskan, Malaysia sudah berpikir jangka panjang sedangkan Indonesia baru mulai. Pabrik keramik RI kesusahan mendapatkan gas di dalam negeri. “Malaysia memiliki gas karena sudah kontrak jangka panjang hingga 30 tahun dari Indonesia,” tukas Purbaya. Sementara itu, Thailand, lebih siap menyerap investasi asing dibandingkan Indonesia. Thailand menjadi pusat produksi mobil Jepang, sehingga memiliki multiplier effect ke industri-industri di bawahnya. “Bahkan, pabriknya di Thailand dan hasilnya dijual ke Indonesia,” timpal Purbaya. Di atas semua itu, Purbaya menggarisbawahi, Indonesia juga bisa diuntungkan jika benar-benar bisa memperbaiki iklim investasi sebelum 2015. “Tapi, berkaca pada perdagangan bebas, pemerintah dan pengusaha kurang memaksimalkan pasar ASEAN,” paparnya.
Alhasil, kenaikan ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN tak signifikan. Kondisinya akan sama, jika Indonesia tak hati-hati dalam mempersiapkan pencanangan MEA pada 2015. “Orang lain, asyik menggarap pasar RI, tapi Indonesia lupa menggarap pasar ASEAN. Kalau RI hanya jadi pasar ASEAN MEA hanya akan merugikan bagi Indonesia,” ungkapnya. Asal tahu saja, keputusan negara ASEAN untuk membentuk MEA dipercepat. Pada awalnya akan dimulai pada tahun 2020 menjadi 2015. Percepatan itu menggambarkan tekad ASEAN untuk segera meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing antar sesama negara anggota ASEAN untuk menghadapi persaingan global.
Dalam kerjasama JIEPA misalnya, akibat minimnya strategi pengembangan industri hulu, Indonesia justru semakin mengukuhkan posisinya hanya sebagai penyedia bahan bakubagi industri Jepang. Sebelum JIEPA diimplemetasikan, Indonesia telah menjadi negara penyuplai komoditas primer untuk industri manufaktur Jepang. Bahkan tingkat ketergantungan Jepang terhadap sejumlah komoditas tersebut sangat tinggi seperti nikel (65 persen), karet (56 persen) dan tembaga (54 persen). Dengan JIEPA, ekspor komoditas primer Indonesia ke Jepang tumbuhanmakin cepat. Pada periode 2003-2007, komposisi ekspor komoditas primer Indonesia ke Jepang mencapai 74 persen, dan meningkat menjadi 77 persen pada 2008-2012. Peningkatan ekspor komoditas primer memang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, kerjasama JIEPA yang dilakukan tanpa strategi dan target yang jelas untuk mendorong industrialisasi di Indonesia akhirnya hanya mempercepat eksploitasi berbagai sumber daya alam. Indonesia semestinya mampu menyiapkan strategi dan kebijakan untuk mendorong Jepang membangun industri hulu di Indonesia sehingga memberikan manfaat ekonomi yang besar baik dari sisi nilai tambah, penciptaan lapangan kerja, maupun terbangunnya industri hulu.
ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dimulai pada tahun 2015. Jadwal implementasi ini dipercepat dari rencana semula tahun 2020. Sesuai cetak biru, Masyarakat Ekonomi ASEAN ditujukan untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal (single regional market) dan kesatuan basis produksi yang terintegrasi (regional production base). MEA akan membawa pada liberalisasi ekonomi yang semakin luas di ASEAN, ditandai dengan peredaran secara bebas tanpa hambatan baik barang, jasa, modal maupun tenaga kerja. Kesepakatan tersebut tentunya akan membuat tatanan ekonomi baru di ASEAN dan akan membuka berbagai peluang untuk memperoleh manfaat. Namun disisi sebaliknya juga berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.
Pertanyaannya, apakah Indonesia akan diuntungkan atau semakin dirugikan dengan kesepakatan dalam MEA? Mengapa menguntungkan dan faktor apa saja yang menyebabkan Indonesia berpeluang mendapat keuntungan? Apa dampak negatifnya dan bagaimana strategi untuk meminimalkan dampak negatifnya? Tentunya hal ini penting untuk dijawab sebelum Indonesia membuat berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang sampai saat ini bahkan jauh lebih agresif dibanding negara-negara lain. Data menunjukkan paska liberalisasi ASEAN dalam AFTA, ASEAN dengan China, maupun kerjasama bilateral lainnya, Indonesia mengalami banyak kerugian. Dalam kesepakatan ASEAN China FTA dan bilateral dengan Jepang misalnya, produk impor dari kedua negara tersebut segera membanjiri pasar Indonesia sehingga terjadi pelebaran defisit neraca perdagangan. Seharusnya hal tersebut dapat menjadi pengalaman berharga bagi Indonesia dalam berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi, termasuk MEA.
Pemerintah telah menyatakan bahwa Indonesia sudah 82 persen siap menghadapi MEA. Namun, klaim persentase kesiapan tersebut ternyata hanya sebatas check list sejauh mana Indonesia telah menjalankan kesepakatan-kesepakatanMEA. Padahal untuk memenangkan persaingan di ASEAN yang makin kompetitif semestinya pemerintah menyiapkan strategi komprehensif yang menjadi agenda bersama antara pemerintah (Pusat dan Daerah) dengan dunia usaha. Negara ASEAN lain, Thailand misalnya, telah mempersiapkan strategi komprehensif untuk meraih peluang saat ASEAN menjadi basis pasar dan produksi. Namun, sampai saat ini persiapan Indonesia masih minimal. Sosialisasi dilakukan tetapi baru sekadar“apa itu MEA”, bukan tentang “strategi bersama menghadapi MEA”.
Implementasi MEA memang bukan liberalisasi ekonomi yang pertama di kawasan ASEAN. Setelah tahun 1992 ASEAN sepakat melakukan AFTA (Asean Free Trade Agreement ), ASEAN juga membuat berbagai kesepakatan dengan negara lain seperti India, Jepang dan Korea. Indonesia pun banyak melakukan liberalisasi ekonomi secara bilateral misal dengan Jepang atau Australia dan New Zealand. Meskipun implementasi MEA sebenarnya implementasi liberalisasi di tengah lingkungan ekonomi ASEAN dan ekonomi Indonesia yang sudah cukup liberal, namun CORE berkeyakinan bahwa implementasi MEA justru sangat penting bagi Indonesia sebagai momentum untuk menata ulang berbagai kesepakatan liberalisasi ekonomi yang telah disepakati, agar potensi manfaat yang diperoleh maksimal dan potensi kerugian yang ditimbulkan dapat diminimalkan. Dari kajian awal ini CORE berkesimpulan paling tidak ada empat isu penting yang perlu kerja keras untuk segera diantisipasi:
Pertama,implementasi MEA berpotensi menjadikan Indonesia sekadar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN, sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan sumber daya alam minimal, tetapi beban defisit neraca perdagangan barang Indonesia yang saat ini paling besar diantara negara-negara ASEAN semakin bertambah. Salah satu yang harus dilakukan Indonesia adalah menyusun strategi industri, perdagangan dan investasi secara terintegrasi, paling tidak dalam konteks kerjasama MEA.
Kedua,implementasi MEA akan semakin melebarkan defisit neraca perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang. Indonesia harus segera mengimplementasikan rencana untuk membangun dan mendukung industri transportasi yang menjadi sumber defisit terbesar. Langkah lainnya, menetapkan sektor pariwisata sebagai prioritas dengan menyusun strategi dan kebijakan baru, karena selama ini pariwisata telah menjadi penyumbang surplus dalam neraca perdagangan jasa.
Ketiga,implementasi MEA akan membebaskan aliran tenaga kerja sehingga Indonesia harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi karena potensi membanjirnya TKA akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada peningkatan remitansi TKI, akibatnya berpotensi menjadi tambahan beban bagi Indonesia dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran.

Keempat, implementasi MEA akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. Indonesia harus bergegas menyiapkan strategi dan kebijakan yang dapat memberi insentif bagi partner ekonominya untuk ikut membangun industri hulu pengolah sumber daya alam, sehingga manfaat ekonomi dari investasi lebih besar, baik dari sisi nilai tambah, penciptaan lapangan kerja maupun terbangunnya industri hulu. Tidak ada pilihan bagi Indonesia kecuali segera menyusun rencana strategi, serta mensosialisasikan dan meng-implementasikan bersama dengan pelaku usaha. Tidak banyak waktu tersisa, hanya tinggal setahun lagi! Kita harus bergegas dengan cerdas.
I. Peran Indonesia di ASEAN: Posisi Tawar yang Terabaikan Indonesia adalah the ASEAN giant yang lupa pada kekuatan yang dimilikinya, sehingga belum mampu memanfaatkan posisi tawarnya yang sangat besar untuk kepentingan nasional. Jika dilihat dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia merupakan penyumbang terbesar (lebih dari sepertiga) PDB ASEAN yang mencapai1,2 triliun US$ (PPP). Dari jumlah populasi ASEAN (600 juta orang), Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar, yang pada tahun 2013 diperkirakan mencapai 250 juta. Sekitar 60persen di antaranya adalah kelas menengah dengan pertumbuhan relatif tinggi. Selain potensi sumber daya manusia, ekonomi Indonesia juga didukung oleh sumber daya alam yang kaya dan beragam, serta wilayah yang sangat luas baik wilayah daratan maupun lautan. Berbagai faktor tersebut semestinya dapat dijadikan sebagai modal untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam berbagai kerjasama ekonomi.
Demikian juga dalam kerjasama MEA, seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan posisi tawarnya untuk mendapatkan keuntungan maksimal saat ASEAN dijadikan sebagai pasar yang terintegrasi dan basis produksi yang kompetitif. Namun ada keraguan besar Indonesia akan dapat mewujudkan hal tersebut. Untuk kasus industri otomotif misalnya, Malaysia mampu membuat kesepakatan dengan industri otomotif Jepang, sehingga produk otomotif Jepang boleh masuk ke pasar Malaysia, tetapi dengan syarat menggunakan merek nasional Malaysia dan perencanaan jelas untuk pengalihan teknologi. Dengan kesepakatan kerjasama dan strategi industrialisasi yang jelas, akhirnya Malaysia mampu membangun industri otomotif nasional dan bahkan dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Sedangkan Indonesia, meskipun posisi tawar lebih besar dibanding Malaysia, baik dari potensi pasar maupun faktor produksi, hingga saat ini Indonesia belum juga memiliki industri otomotif nasional. Di sektor jasa perbankan, Indonesia juga belum mampu memanfaatkan daya tarik pasar domestik dengan kebijakan yang dapat menguntungkan kepentingan nasional.
Indonesia telah membuka kepemilikan asing di bank lokal hingga 99 persen, aturan pembukaan cabang dan ATM tidak terbatas, serta segmen pasar bank asing yang tidak dibatasi. Sementara Singapura yang memiliki sektor jasa keuangan dan perbankan yang jauh lebih kompetitif tetap membatasi kepemilikan asing di bank lokal maksimal hanya 20 persen, ijin operasional diberikan berjenjang dan pembukaan cabang dan ATM sangat terbatas. Demikian juga Malaysia dan Thailand yang memiliki kebijakan jelas dalam mendukung daya saing sektor perbankan dalam memanfaatkan pasar domestiknya.
Lemahnya posisi tawar Indonesia terutama disebabkan oleh tidak adanya strategi dan kebijakan industri yang komprehensif yang akan menjadi referensi bagi pemerintah. Bila ada acuan yang jelas maka pada setiap perundingan kerjasama ekonomi baik regional seperti MEA, kerjasama global seperti WTO maupun kerjasama-kerjasama bilateral, Indonesia akan memiliki langkah yang jelas dan konsisten. Strategi dan kebijakan industrialisasi nasional ini pula yang kemudian akan menjadi acuan bagi kesepakatan pemangkasan tarif bea masuk, membuka atau membatasi impor suatu produk, termasuk mempercepat atau menunda liberalisasi sektor tertentu.
II. Pengalaman Pahit Kerjasama Perdagangan Bebas (Free Trade)
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling agresif dalam menjalin kesepakatan perdagangan bebas baik di tingkat global, regional maupun bilateral. Untuk kawasan ASEAN, telah dimulai dari liberalisasi perdagangan di kawasan ini yakni dalam ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992. Tahun 1995, Indonesia bergabung dengan WTO yang kemudian mendorong Indonesia mengalami penurunan tarif impor secara persisten. Setelah krisis, kerjasama ekonomi dan perdagangan secara bilateral dan multilateral juga terus bergulir seperti dengan Jepang tahun 2008 dalam payung Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement (JIEPA). Indonesia juga turut meratifikasi kerjasama negara-negara ASEAN dengan Australia-New Zealand melalui ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) di tahun 2009, dan selanjutnya juga ikut meratifikasi kesepakatan perdagangan negara-negara ASEAN dengan China melalui ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) yang diimplementasikan pada 2010 lalu. Berbagai kesepakatan perdagangan bebas tersebut telah mengakibatkan rata-rata tarif impor Indonesia menjadi sangat. Tarif bea masuk Indonesia bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain seperti Brazil, China, India dan Rusia. Dalam setiap FTA, Pemerintah selalu optimis, Indonesia siap dan yakin akan mendapatkan banyak keuntungan. Namun sayang, paska implementasi berbagai liberalisasi perdagangan tersebut sejumlah indikator justru menunjukkan kecenderungan sebaliknya.
Saya memandang bahwa dalam menghadapi MEA 2015, kita tidak bisa terus mengandalkan hasil-hasil dari SDA. Selain karena jumlahnya yang semakin terbatas, juga dikarenakan ketidakmampuan kita untuk mengolahnya dengan maksimal sebelum dapat diekspor ke pasar internasional. Industri manufaktur kita pun harus mulai diseriusi dan diperhatikan oleh pemerintah. Industri manufaktur akan mendorong pemanfaatan bahan mentah kita.
Impor China di Indonesia masih 9 persen, maka pada tahun 2012 porsinya mencapai 15 persen dari total impor Indonesia. Ke depan, defisit transaksi perdagangan dengan China diperkirakan masih akan terus berlanjut mengingat proses penurunan tarif masih akan terus berlanjut baik dalam tingkat tarif bea masuk maupun pada cakupannya. Dalam ACFTA komposisi ekspor Indonesia ke China pun didominasi oleh barang mentah. Sementara China telah mendapatkan manfaat besar dengan menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan baku bagi industrinya. Bahkan untuk sejumlah SDA, China sangat bergantung pada impor dari Indonesia seperti batubara muda atau lignite (90 persen), biji aluminium (67 persen), nikel (60 persen), dan miyak sawit (45 persen) dan batu bara (24 persen). Di sisi impor, ACFTA juga telah memperlemah daya saing industri domestik dan memperkuat daya saing industri China. Membanjirnya produk-produk impor dari China dengan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan produk-produk domestik membuat daya saing industri nasional semakin lemah. Dengan fakta-fakta di atas, semakin jelas bahwa Indonesia perlu melakukan evaluasi dan koreksi atas berbagai kesepakatan kerjasama liberalisasi ekonomi. Telah banyak bukti pengalaman pahit yang dialami Indonesia dari berbagai kesepakatan perdagangan bebas akibat absennya strategi.
Padahal saat ini Indonesia telah menyepakati banyak kerjasama liberalisasi ekonomi, baik yang sudah berjalan maupun yang akan segera diimplementasikan. Model kerjasama ekonomi yang disepakati pun tidak hanya kerjasama perdagangan bebas (Free Trade Agreement), tetapi sudah banyak juga kesepakatan kerjasama ekonomi yang lebih luas (Comprehensive Economics Partnership Agreement) yang selain mencakup perdagangan bebas juga liberalisasi investasi, industri, serta ekonomi secara luas termasuk tenaga kerja. MEA ternyata Indonesia belum memiliki strategi dan kebijakan komprehensif yang menjadi agenda bersama antara Pemerintah dan Pengusaha sebagaimana yang dimiliki negara-negara tetangga. Padahal agenda bersama inilah yang seharusnya menjadi materi utama dalam kegiatan sosialisasi baik dengan pengusaha, maupun antar lembaga Pemerintah dan antara Pusat dan Daerah. Tanpa adanya strategi, sosialisasi MEA yang telah dilakukan pemerintah akhirnya hanya
terbatas pada “apa itu MEA”, belum pada sosialisasi “apa yang harus dilakukan untuk memenangi MEA”.
Sosialisasi “apa itu MEA” yang telah dilakukan oleh Pemerintah pun ternyata masih sangat minimal. Sebagai gambaran, sosialisasi pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang hanya berupa pengenalan MEA, hingga saat ini baru dilakukan pada sekitar separuh dari sebanyak 410 kabupaten dan 98 kota yang ada di Indonesia. Hal ini berbeda dengan persiapan yang dilakukan oleh negara lain. Sebagai contoh di Thailand, Pemerintahnya melalui the National Economic and Social Development Council telah melakukan persiapan secara komprehensif dan menyiapkan delapan strategi khusus untuk menghadapi MEA untuk rentang waktu tiga tahun (2012-2015). MEA ditetapkan sebagai prioritas utama dan menjadi kebijakan populis yang melibatkan berbagai institusi pemerintah dan kalangan pengusaha. Pemerintah bahkan menyediakan dana besar untuk mendukung kegiatan-kegiatan terkait persiapan menghadapi MEA. Salah satu strategi yang dilakukan oleh Thailand di sektor peternakan adalah peningkatan kualitas manajemen budidaya ternak dan melakukan ekspansi investasi ke negara tetangga seperti Myanmar. Pemerintah Thailand mengupayakan pengelolaan peternakan dan pengolahan daging sapi dengan berorientasi pada kebutuhan dan selera pasar. Misalnya, sistem pemotongan daging yang memisahkan bagian-bagian tubuh/daging ternak agar dapat didistribusikan dan dijual kepada konsumen sesuai dengan selera konsumen terhadap jenis daging/bagian tubuh ternak tertentu.
Seperti uraian di atas, pelaksanaan integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi yang terintegrasi akan memberikan berbagai peluang dan ancaman. Berkaca dari pengalaman berbagai liberalisasi ekonomi sebelumnya, terbukti bahwa Indonesia selalu memperoleh manfaat yang minimal dan mendapatkan resiko kerugian ekonomi yang lebih besar. Oleh karena itu, dalam menghadapi pelaksanaan MEA 2015 yang sudah sangat dekat ini Indonesia harus segera menyiapkan strategi agar kesepakatan MEA tersebut menguntungkan secara nasional. Strategi yang disusun haruslah melibatkan berbagai pemangku kepentingan baik pengusaha maupun masyarakat secara umum. Sosialisasi yang diperlukan bukan lagi terbatas pada masalah apa itu MEA, akan tetapi sudah harus mencakup strategi bersama bagaimana memenangkan persaingan dalam berbagai aspek di kawasan ASEAN. Indonesia yang merupakan negara terbesar di ASEAN semestinya mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan negara lain. Tingginya posisi tawar tersebut semestinya dapat dijadikan modal yang memadai untuk menyusun strategi yang komprehensif yang dapat menguntungkan secara nasional. Tidak banyak waktu yang tersisa, kita mesti bergegas dengan cerdas.

About ikbalinside

All is well 😊

Satu tanggapan »

  1. lupi berkata:

    tulisan yg bagus, ijin sedot buat tugas ya. makasih

Tinggalkan komentar